
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan ketentuan ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakilnya tidak sesuai dengan UUD 1945, menimbulkan beragam reaksi. Sebab, “pasal keramat” dalam Undang-Undang Pemilu itu sudah lebih dari 30 kali disanggah ke MK, tapi baru kali ini sikap majelis hakim mengalami “pergeseran penilaian”.
membuat mereka “gemetaran”.
Pasal itu menjelaskan syarat calon presiden dan wakil presiden hanya bisa dipilih oleh partai atau gabungan partai yang memiliki setidaknya 20% kursi dari DPR atau mendapatkan 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Analis politik mengemukakan bahwa putusan ini memiliki dampak luas pada peta politik di Indonesia. Potensi pecahnya koalisi serta kedatangan figur politik baru hampir dipastikan akan memperihai tahun-tahun mendatang.
Di sisi lain, Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengatakan “tetap solid” setelah keputusan Mahkamah Konstitusi ini keluar.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi, dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
‘Saya gemetaran sebadan-badannya’
Salah satu calon pengujian ambang batas pemilihan presiden adalah Rizki Maulana Syafei yang mengaku terkejut saat majelis hakim MK setuju dengan permohonannya.
Seorang pria berusia 22 tahun ini adalah mahasiswa semester ketujuh jurusan hukum tata negara di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga.
Dia mengungkapkan, bahwa pada waktu itu ia juga sangat takut, karena memanguzzhal ini adalah keputusan yang sangat besar.
Selain Rizki, permohonan uji materi ini juga diajukan bersama tiga rekan mahasiswa di fakultas yang sama.
Mereka adalah Enika Maya Oktavia (23), Faisal Nasirul Haq (23), dan Tsalis Khorul Fatna (22).
Mereka mengaku “terharu”, “sangat terkejut”, “tidak menyangka” dan “merasa bangga” saat putusan itu dibacakan.
Karena MK sudah menolak 33 kali permohonan yang sama terkait pasal ambang batas presiden.
Namun, pada Petisi Ke-33 Mahkamah Perlembagaan Ke-62/PUU-XXII/2024 ini kemudian disahkan.
“Saya benar-benar ingin mengakui bahwa, kita tidak sebenarnya memiliki harapan bahwa keputusan tersebut akan dapat dimanjakan. Saya sangat senang dan menghargai keputusan MK,” kata Enika.
“Kami senang bisa berguna. [Putusan MK] dapat memberikan dampak bagi bangsa Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Tsalis Khorul Fatna mengatakan, “Saya merasa bangga”, karena dengan putusan MK ini, semua orang nantinya memiliki lebih banyak pilihan untuk memilih capres-cawapres.
Proses mengajukan permintaan uji materi sampai diputus Majelis Komisi ini memakan waktu satu tahun.
Mahasiswa ini merasa khawatir dengan kerap munculnya kandidat presiden-wakil presiden yang serupa dalam dua pilpres 2019 dan 2024, menawarkan pemilih calon yang hanya itu-itu saja.
“Saya melihat bahwa tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang merepresentasikan preferensi keinginan saya,” katanya Enika.
Faisal mengatakan, “Jadi alternatif pasangan calon presiden dan wakil ini bukanlah yang mewakili atau belum bisa menyentuh dari kalangan muda”.
Dinamika Pilpres 2019 dan 2024 ini yang kemudian menjadi kajian akademik, dan dimasukkan dalam pertimbangan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Bisa dijadikan sebuah referensi bagi perjuangan-perjuangan akademia dan advokasi konstitusional berikutnya,” kata Faisal.
Pernyataan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dituduh mengandung sentuhan aneh
Mereka, sebagai pengajuan, terbit dari preseden keputusan MA pada perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang usia batas calon presiden dan calon wakil presiden.
.
.
Dari putusan [Nomor] 90 ini,” katanya.
Rizki dan tiga rekannya juga mengatakan, “Kami disini adalah mahasiswa dan perseorangan murni. Kami tidak berkolaborasi dengan siapa pun”.
Seperti diketahui, peningkatan permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh mahasiswa Universitas Surakarta (UNSA), Almas Tsaqibbirru.
Pernyataan ini dinilai penuh kepentingan politik oleh beberapa pihak karena disampaikan sekitar waktu pencalonan capres-cawapres di KPU.
.
Ketika itu Almas mengajukan permohonan uji materi usia capres-cawapres ke Mahkamah Konstitusi pada saat itu karena ingin mengek_used momen kuliah.
Alasan lainnya, karena potensi potensi generasi muda yang berusia di bawah 40 tahun kurang diizinkan melanjutkan klasifikasi sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
.
Dalam keterangan terbaru, Almas mengatakan “suka cita menerima keputusan Mahkamah Konstitusi” terkait penghapusan ambang batas.
Ia juga mengapresiasi karena permohonan terkini ini diajukan berdasarkan alasan hukum perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
ke Mahkamah Konstitusi,” katanya.
(beda pendapat).
“Saya [bentuk inkonsistensi hakim] bukanlah hal yang lama. Ini adalah dinamika alami. Dan, ingin atau tidak, kita harus menghormatinya,” kata Almas.
Apa konsekuensi kemungkinan bagi politik?
Analis politik dari Universitas Diponegoro, Nur Hidayat Sardini, “bertopeng” maskawinnya untuk empat mahasiswa yang berhasil mengubah kebijakan majelis hakim MK.
“Mereka telah menegakkan dasar-dasar untuk kembali pada sistem politik yang lebih otonom yang lebih baik untuk partai politik, tidak ikut campur tangan dalam pertalian jahat terhadap demokrasi pemilihan umum yang dirancang sedemikian rupa, sehingga menimbulkan keuntungan bagi mereka-mereka,” katanya.
Nur Hidayat menilai putusan MK ini memiliki dampak luas.
Perebutan posisi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) massa akan meriah.
Sudah “mengekang dan mengarahkan pada usaha pengetatan orang di luar yang disepakati oleh para pendiri politik di partai-partai politik.
Runtuhnya “rezim kartelianisme”. Istilah ini merujuk pada kekuasaan hanya dikendalikan segelintir orang atau partai politik tertentu.
Rezim ini, menurut Nur Hidayat, membuat “kuasa politik berkumpul” yang menyatukan parlemen dan eksekutif tanpa adanya partai oposisi.
” Imbasnya, setiap produk undang-undang yang menjadi kontroversi seperti revisi UU KPK, UU IKN dan Undang-Undang Omnibus hanya disahkan dalam waktu yang singkat,” kata Nur Hidayat.
“Waktu itu harus dilupakan. Dan sikap-angle para politisi akan berubah pada hal-hal yang lebih positif,” kata dia.
Koalisi partai politik tidak menarik lagi. Dengan putusan MK inilah partai politik menjadi lebih mandiri karena diberi hak menyatakan kandidat presiden-wakil presiden.
“Mereka tidak lagi merasa terikat dengan waktu masa depan… tetapi memang ke depan, tendensi untuk membuat praktik politik yang bersifat borongan atau kartelian sudah tidak akan berlaku,” tambah Nur Hidayat.
I Nyoman Subanda, analis politik dari Universitas Pendidikan Nasional (Universitas Pendidikan Nasional) Denpasar juga turut menekankan hal ini.
Menurut Subanda, Kumpulan partai politik dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berkuasa dalam waktu dua tahun ke depan mungkin “sudah mulai bisik-bisik”.
Masing-masing partai politik (parpol) kemungkinan sudah memiliki rencana dalam menetapkan pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang tidak lagi ditentukan oleh koalisi.
“Tahun ini masih mencari posisi juga masih merebut posisi itu (jabatan pemerintahan),” katanya.
Bagaimanapun, Subandriyo dan Nur Hidayat punya kekhawatiran yang sama atas putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas.
Mereka takut, nantinya kelompok-kelompok mereka yang memiliki kekayaan dan akses yang luas ke kekuasaan.
Dengan dukungan dana, sebuah figur tertentu—mungkin tidak cerdas dalam kepemimpinan—namun dapat dilatih mengembangkan citranya, menggalang massa, dan membeli tiket dapat maju sebagai calon presiden dari partai politik.
“Sudah pasti masih akan didominasi oleh orang yang punya uang atau yang punya akses besar,” kata Subanda.
Selain itu, kekhawatiran yang lain adalah pilpres tidak lagi menarik karena kemungkinan dipilih oleh banyak calon peserta.
Nur Hidayat memberikan saran kepada DPR dan pemerintah, yang merupakan otoritas yang bertanggung jawab, untuk merevisi UU Pemilu mengingat kekhawatiran tersebut.
“Itu bisa diatasi dengan cara, misalnya harus ada dua rotasi,” katanya.
Selain itu, pembuat produk undang-undang yang akan merevisi ketentuan ambang batas calon presiden-pendamping presiden ditunggu memuat batasan biaya kampanye.
Nur Hidayat mendukung kampanye melalui daring, bukan lagi terbuka seperti pengerahan massa.
Jadi perdebatan kampanyenya dilakukan di rumah-rumah langsung lebih genau, tidak di publik juga bisa membosankan dan memang harus dipertemukanlah dengan orang-anggota keluarga sendiri.
KIM mengeklaim ‘tetap solid’
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi, mengaktakan bahwa Komisi Independen Pemilu (KIP) “tidak ada getol” mengalokasikan sumber daya karena putusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas.
“Mereka harus tetap solid, kompak, dan fokus untuk bekerja dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintah,” kata Viva Yoga yang saat ini duduk sebagai Wakil Menteri Transmigrasi di kabinet Prabowo-Gibran.
Viva Yoga mengklaim putusan MK ini “sesuai dengan usulan dan pemikiran fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) saat pembahasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu”.
Saat itu, kata Viva, PAN berargumentasi bahwa penghapusan ambang batas memberi kesempatan lebih luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pilpres.
“Dan jangan sampai dikesankan bahwa partai politik sebagai lembaga demokrasi sebenarnya menghambat demokrasi, tidak ada dominasi atau pengaruh partai politik yang menghambat demokrasi,” katanya.
Tidak ada teks yang diberikan. Silakan masukkan teks yang ingin Anda parafrasing.
Menyediakan presiden dengan calon beragam bukanlah perjalanan mudah.
Setidaknya, sejak Orde Baru, upaya agar calon presiden-calon wakil presiden lebih beragam sering kali berhasil gagal.
Pelaksanaan pemilu pada masa Orde Baru dijalankan sebanyak enam kali, yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Dari enam kali pesta demokrasi (pemilu), hanya Pemilu 1971 yang dipadati oleh sepuluh partai politik. Sepuluh partai itulah Golkar, PNI, NU, PSII, PK-b, IPKI, Perti, Parkindo, Murba, dan Partai Katolik.
Namun setelah itu, rezim Orde Baru menyederhanakan partai politik menjadi tiga: Golkar, PDI, dan PPP.
Pemilihan presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan menggunakan proses pemungutan suara dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pemilihan pada Presiden dan Wakil Presiden ini menggunakan pemilu langsung. Caranya dimulai sejak jatuhnya presiden Soeharto pada tahun 1998.
Pada era Orde Baru, jika ada figur tertentu yang ingin maju sebagai calon presiden maka harus bersiap menghadapi nyala api jeruji besi.
Salah satu contoh adalah tokoh politik Sri Bintang Pamungkas yang menantang Soeharto untuk menyelenggarakan pemilu langsung pada 1996.
Pada saat itu ia menyatakan diri sebagai calon presiden bersama Julius Usman sebagai potensinya dari Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI).
Beberapa bulan kemudian, Sri Bintang dirinya dipenjara dengan tuduhan radikal, hingga terjadinya perubahan arah politik. Soeharto telah jatuhnya dan ia sdg merasakan nuansa freformasi.
Aturan syarat paslon (calon presiden dan wakil presiden) dimulai pertama kali melalui ambang batas lewat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam hal pemberian saran presiden dan wakil presiden pada saat itu, hanya bisa dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh paling sedikit 15% dari total kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20% dari perolehan suara nasional.
Syarat ambang batas ini kemudian ditingkatkan menjadi 25% kursi DPR dan 20% perolehan suara sah nasional melalui UU Nomor 42 Tahun 2008.
Banyak kali pasal ini sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi baik oleh partai politik, tokoh masyarakat, mahasiswa sampai akademisi. Tapi Mahkamah Konstitusi tidak bergeming.
.
Suasana pemimpin badan eksekutif harus kuat agar tidak mudah dibolak-balikkan oleh alasan politik dan proses pengelolaan pemerintahan lebih efektif.
Saran untuk memperlemah induk sistem pilpres agar beragam ala 1998 diajukan mantan aktivis Fadjroel Rachman.
Dia mengajukan kasus tentang pasal dalam UU Pemilu terkait capres independen. Namun, permohonannya oleh Fadjroel ditolak oleh MK pada Februari 2009 meneruskan putusan Nomor 56/PUU-VI/2008.
Akhirnya, empat orang mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga berhasil mengubah pandangan Mahkamah Konstitusi pada awal tahun 2025.